Ini
adalah organisasi Islam yang berdiri di Bandung pada tanggal 12 September 1923.
Bermula
dari persahabatan antara H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus yang dimana H. Zamzam
adalah seorang alumnus Dar al- ‘Ulum Mekkah, beliau juga seorang guru agama di
Dar al-Muta’alimin sejak tahun 1910-1912. Sedang H. Muhammad yunus merupakan pedagang
sukses. Keduanya kelahiran Palembang dan menguasai bahasa arab. Dengan kultur
dan latar belakang yang sama membuat keduanya bersatu dalam diskusi-diskusi
tentang Islam.
Diskusi
yang dibahas biasanya tentang perkembangan agama pada saat itu, seperti pada
majalah al-Munir terbitan Padang dan majalah al-Manar terbitan Mesir selalu
menjadi bacaan dan perhatian mereka pada saat itu.
Tulisan
“Al-Islam Mahjubun bi al-Muslimin” yang ditulis oleh Muhammad Abduh sangat
menyentuh emosi keagamaan mereka. Dan tulisan itu pula kemudian menjadi
ungkapan yang sangat terkenal di kalangan pembaru, baik di Timur Tengah maupun
di Indonesia. Tulisan ini menuntut umat Islam untuk berpikir dan hidup dengan
cara yang baru yaitu dengan tuntunan ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
H.
Zamzam merupakan pembicara utama dalam setiap diskusi, dimana keduanya
merupakan tokoh yang banyak mengeluarkan pemikiran-pemikiran baru. Karena
keduanya mempunyai pengetahuan yang luas mengenai masalah keagamaan. Karena
ditunjang oleh profesi sebagai guru agama dan latar belakang yang kuat tentang
agama di masa mudanya.
Pada
suatu saat diskusi berlangsung setelah acara kenduri di rumah salah seorang
anggota keluarga yang berasal dari Sumatra yang telah tinggal di Bandung sejak
lama. Materinya adalah membahas perselisihan antara paham al-Irsyad dan Jami’at
Khair.
Setelah
itu lalu pertemuan-pertemuan berikutnya berubah menjadi semacam study club
dimana para anggotanya menelaah, mengkaji, serta menguji ajaran-ajaran agama
yang diterimanya. Diskusi juga dilakukan oleh para jama’ah shalat jum’at,
membuat pembahasan lebih meluas dan lebih mendalam.
Lama-lama
diskusi menjadi semakin intensif dan menjadi tidak terbatas pada permasalahan
tentang agama, hal ini disebabkan oleh khotomis tradisional-modernis islam pada
saat itu. Dimana jami’at Khair dan al-Irsyad di Batavia, selain itu diskusi
juga membahas tentang masalah komunisme yang menyusup ke dalam Syarikat Islam,
juga usaha-usaha umat islam dalam menghadapi pengaruh-pengaruh tersebut.
Sejak
saat itu timbul gagasan untuk membangun organisasi Islam dengan tujuan
mengembalikan umat Islam kepada ajaran-ajaran Al-qur’an dan Al-sunnah.
Organisasi ini digunakan untuk menampung kaum muda dan tua yang perhatian dalam
masalah keagamaan. Kegiatannya adalah diskusi, dimana setiap anggota mengajukan
masalah keagamaan yang dihadapinya setiap hari.
Pada
tahun 1924 bergabunglah seorang yang cerdas, lancar berbahasa arab, inggris,
melayu, dan Tamil. Dia juga memiliki pengetahuan tentang agama dan pengetahuan
umum yang luas. Dia adalah A. Hassan seorang kelahiran Singapura, Ayah Tamil
dan Ibu Jawa.
Dimana
dia memperoleh pengetahuan tentang agama dari sekolah-sekolah agama di
Singapura dan Johor, selain itu A. Hassan juga sering menulis artikel-artikel
pada harian utusan melayu yang terbit di singapura.
A. Hassan pernah berkunjung ke Surabaya dalam hubungan perdagangan batik keluarganya pada tahun 1920.
A. Hassan pernah berkunjung ke Surabaya dalam hubungan perdagangan batik keluarganya pada tahun 1920.
Disana
ia mulai terlibat perdebatan masalah pertentangan antara kaum muda dan kaum
tua, antara paham modernis dan paham tradisional. Tapi ayah A. Hassan merupakan
orang yang berpandangan modernis. Sehingga A. Hassan pun sejalan dengan faham
kaum muda. Tidak lama kemudian A. Hassan pergi ke Bandung dan bergabung dengan
Persatuan Islam. Selanjutnya setelah itu A. Hassan menyediakan dirinya sebagai
pembela Islam dengan memusatkan kegiatan hidupnya dalam pengembangan pemikiran
Islam.
Penamaan
Persatuan Islam dianggap sebagai pengaruh penjajah Belanda, karena sakralitas
dengan penamaan Arab sangat kuat saat itu. Akan tetapi mereka siap menanggung
apapun resikonya karena penamaan latin tersebut. Mereka beranggapan jika
penamaan latin tersebut mengajarkan kepada masyarakat luas tentang apa yang
harus disakralkan dan apa yang tidak harus disakralkan. Mereka beranggapan
tidak semua ajaran Islam adalah sesuatu yang menyinggung tentang kearaban dan berbahasa
Arab. Bahwa agama Islam dapat berpadu dan diterima dengan bahasa atau
kebudayaan apapun. Dan Persatuan Islam dapat membuktikannya, dengan penentangan
mereka terhadap tradisi-tradisi yang bertentangan dengan agama Islam melalui
konsep bid’ah, khufarat, dan takhayul.
Dalam
berdakwah Persatuan Islam menempatkan diri pada pembentukan paham keagamaan
Islam di Indonesia, mereka menitikberatkan pada pengembalian kepada
ajaran-ajaran Al Qur’an dan Al Hadist. Secara rinci ajaran dan gerak dakwah
Persatuan Islam tertulis dalam Qanun Asasi (Anggaran Dasar) dan Qanun Dakhili
(Anggaran Rumah Tangga) Persatuan Islam. Persatuan Islam bertujuan mengamalkan
segala ajaran agama Islam oleh anggotanya dalam masyarakat dan menempatkan kaum
muslimin pada ajaran aqidah dan syari’ah berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Maka dari itu Persatuan Islam mencontohi Rasulullah SAW yaitu dalam bentuk
berjamaah, berimamah, dan berimarah. Maka dari itu Persatuan Islam membentuk
rencana Jihad diantaranya :
a)
Mengadakan kegiatan-kegiatan dakwah secara lisan,tulisan dan amal perbuatan
dalam masyarakat yang sejalan dengan al-Qur'an dan al-Sunnah;
b)
Melakukan amar ma'rûf dan nahyi munkar dalam segala ruang dan waktu, membela
dan menyelamatkan umat Islam dari gangguan lawan-lawan Islam dengan cara hak
dan ma'rûf yang sesuai dengan ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah;
c)
Menghidupkan dan memelihara rûh al-jihâd (jiwa perjuangan) dan ijtihâd dalam
kalangan para anggota khususnya dan umat Islam umumnya;
d)
Membasmi munkarat, bid'ah, khurafat, takhayul, taqlîd dan syirk dalam
lingkungan anggota khususnya dan umat Islam umumnya;
e)
Memberikan jawaban dan perlawanan terhadap tantangan aliran yang mengancam
hidup keislaman demi tegak dan kokohnya agama Allah; dan
f)
Mengadakan dan memelihara hubungan yang baik dengan segenap organisasi Islam di
Indonesia dan seluruh dunia untuk menuju terwujudnya bun-yân al-Islâm (bangunan
Islam) yang kokoh.
Persatuan Islam sangat tegas dalam menegakkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Apa yang dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur`an dan al-Sunnah ditolak secara tegas. Sedangkan apa yang dianggap benar akan sampaikan walaupun pahit. Maka dari itu Persatuan Islam selalu dalam perdebatan karena berkeyakinan kokoh kalau agama yang dipegang lawan adalah salah.
Persatuan Islam sangat tegas dalam menegakkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Apa yang dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur`an dan al-Sunnah ditolak secara tegas. Sedangkan apa yang dianggap benar akan sampaikan walaupun pahit. Maka dari itu Persatuan Islam selalu dalam perdebatan karena berkeyakinan kokoh kalau agama yang dipegang lawan adalah salah.
Persatuan
Islam juga melakukan publikasi dengan media cetak, yaitu yang pertama kali
diterbitkan oleh majalah Pembela Islam di Bandung pada bulan oktober 1929.
Sampai
pada tahun 1933 penerbitan itu berlangsung dan menerbitkan 72 nomor dan
sirkulasi sebanyak 2000 eksemplar, tersebar ke seluruh Indonesia juga Malaysia
dan Muangthai. Pada tahun 1935 diterbitkan lagi majalah al-Lisan, penerbitan
ini berlangsung sampai tahun 1942 dengan 65 nomor penerbitan dengan nomor 47
sampai 65 terbit di Bangil, Pasuruan Jawa Timur karena perpindahan A. Hassan
kesana.
Majalah
lainnya yang terbit sejak tahun 1930 adalah majalah at-Taqwa, yaitu majalah
dengan bahasa sunda. Terbit 20 nomot dengan sirkulasi 1000 eksemplar. Selain
itu ada majalah yang berisi tentang jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para
pembaca, majalah itu bernama majalah sual-jawab. Akan tetapi penerbitan majalah
Persatuan Islam terhenti karena situasi politik pada saat masa pendudukan
Jepang juga gawatnya revolusi Indonesia. Akan tetapi pada tahun 1948 terbit
majalah yang memuat tentang tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh Persatuan Islam
tapi bukan resmi diterbitkan oleh Persatuan Islam. Begitu juga pada tahun 1954
terbit majalah yang bukan berasal dari Persatuan Islam, akan tetapi majalah
tersebut juga memuat tentang hukum dan pengetahuan agama islam. Baru pada tahun
1956 Persatuan Islam Bangil menerbitkan majalah dan majalah tersebut diberi
nama Himayat al-Islam. Sampai pada bulan Mei tahun 1957 majalah ini berhenti
setelah terbit sembilan kali. Baru pada tahun 1956 terbit majalah yang resmi
berasal dari Persatuan Islam, majalah tersebut diberi nama Hujjat al-Islam.
Majalah ini hanya terbit satu kali, dan pada tahun 1962 Persatuan Islam
mengeluarkan majalah lagi yang diberi nama Risalah. Selain majalah para tokoh
dari Persatuan Islam juga menerbitkan buku-buku untuk kebutuhan baca para
anggota Persatuan Islam. Buku yang paling banyak mendominasi adalah buku
karangan A. Hassan.
Tapi
sejak saat itu dunia tulis menulis anggota Persatuan Islam mandeg. baru bada
tahun 1996 muncul lagi, itupun hanya satu. Yaitu al-Hidayah yang ditulis oleh
ustadz A. Zakaria yang ditulis dalam bahasa arab lalu diterjemahkan ke bahasa
Indonesia dalam 3 jilid.
Para
anggota persatuan Islam juga sering melakukan perdebatan, hal ini dilakukan
untuk mempertahankan akidah yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist.
Diantara anggota yang sering melakukan perdebatan adalah A. Hassan dan KHE.
Abdurrahman. Biasanya perdebatan membahas tentang masalah taqlid, taqlin, dll,
bertempat di Bandung, Cirebon, Makasar, Gorontalo dan lain-lain.
Selain
perdebatan membahas tentang ajaran agama Islam ada juga perdebatan lainnya.
Yaitu perdebatan dengan kaum non muslim, diantaranya adalah Perdebatan dengan
orang Kristen Sevendays Adventist, tentang kebenaran agama Kristen dan Bibel.
Lalu perdebatan dengan para intelektual Belanda seperti Dier huis, Eising dan
Prof Schoemaker. Yang terakhir ini kemudian masuk Islam dan menjadi sahabat A.
Hassan serta menjadi co-editor buku Cultur Islam bersama Muhammad Natsir.
Persis
lebih mementingkan kualitas anggotanya dari pada menambah jumlah anggotanya.
Akan tetapi Persis memiliki kelebihan yaitu walaupun anggotanya sedikit tetapi
terdiri dari para intelektual. Selain itu masyarakat masih belum bias menerima
Persis terutama golongan orang muslim tradisional.