Pondok pesantren awal
mulanya diidentifikasi sebagai “gejala desa.” Gejala desa artinya pondok
pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tradisional yang kehadirannya
bukan untuk menyiapkan pemenuhan tenaga kerja trampil (skilled) atau
profesional sebagaimana tuntutan masyarakat modern sekarang ini. Pondok
pesantren didirikan oleh perorangan, yakni kyai. Lembaga pendidikan ini
dimaksudkan untuk mengajari para santri belajar agama mulai tingkat dasar
hingga tingkat lanjut.
Kyai adalah sentra
utama berdirinya pondok pesantren. Tidak pernah ada pesantren tanpa kyai.
Otoritas kepemimpinan pesantren sepenuhnya berada pada kyai. Oleh karena itu,
keberadaan dan perkembangan pesantren ditentukan oleh kekuatan kyai yang
bersangkutan. Jika kyai wafat, maka secara otomatis akan diteruskan oleh para
keturunan atau keluarga dekat kyai yang bersangkutan.
Akhir-akhir ini di
pesantren dibangun organisasi sebagaimana institusi pendidikan modern. Akan
tetapi, rupanya tetap saja kyai memegang otoritas semua hal yang berkait dengan
kehidupan pesantrennya. Sedemikian kukuh kekuatan kyai pada masing-masing
pesantren, sehingga organisasi besar seperti NU yang dikenal sebagai organisasi
para kyai, tidak terlalu berkuasa ikut ambil bagian dalam mengendalikan
pesantren. Atau, pesantren memang tidak memerlukan intervensi dari kalangan
eksternal semisal NU atau apalagi pemerintah.
Merupakan gejala baru,
akhir-akhir pesantren dilihat kalangan lebih luas, tidak terkecuali oraganisasi
Islam yang mengklaim diri sebagai gerakan modernis, yakni Muhammadiyah.
Muhammadiyah lebih dikenal sebagai organisasi Islam yang banyak mendirikan dan
mengembangkan sekolah, akhir-akhir ini terdengar sudah mulai melihat betapa
pentingnya lembaga pendidikan pesantren. Hanya Muhammadiyah selama ini tidak banyak
memiliki kyai. Sebab kyai kebanyakan lahir dari pesantren. Sedangkan
Muhammadiyah, karena menekankan pada pengembangan model pendidikan sekolah,
lebih banyak melahirkan guru, dosen, pegawai, dan sejenisnya. Saya menilai,
fenomena itu bagus. Sebab pesantren akhir-akhir ini masuk atau bahkan menjadi
model pendidikan alternatif di tengah pengapnya sistem dan model pendidikan
Indonesia yang selalu menuai kritik. Artinya, pesantren kini bukan lagi sebatas
menjadi identitas kelompok tertentu, melainkan menjadi milik umat Islam
semuanya.
Popularitas pesantren
juga dibarengi oleh terbitnya buku-buku yang membahas tentang pondok pesantren.
Tidak saja ditulis oleh para ahli Indonesia, melainkan juga para penulis dan
peneliti asing. Tidak keliru bila pesantren diidentifikasi sebagai institusi
pendidikan Islam yang memiliki kekuatan yang tangguh. Melewati sejarahnya yang
panjang, institusi ini masih tetap dapat bertahan dan bahkan menunjukkan
kekuatannya yang sejatinya. Tulisan singkat ini ingin mengemukakan beberapa
kekuatan dan potensi yang sekiranya dapat dikembangkan sebagai upaya untuk
merespon tuntutan penyiapan SDM mendatang, baik pesantren sebagai institusi
yang bersifat mandiri maupun pesantren sebagai pagar budaya, ataupun juga
sebagai penyempurna terhadap lembaga baru yang bakal hadir kemudian.
Orientasi Pendidikan
Pondok Pesantren
Sebagaimana dikemukakan
di muka pesantren adalah lembaga pendidikan mandiri yang dirintis, dikelola,
dan dikembangkan oleh kyai. Jika ditelusuri pesantren lahir dari sesuatu yang
sangat sederhana. Seseorang yang dikenal memiliki pengetahuan agama, yang
kemudian dianggap sebagai ustadz, menyediakan diri untuk mengajar agama Islam.
Mulai dari hal-hal yang sederhana mengenai dasar-dasar pengetahuan ajaran
Islam, seperti cara membaca al-Qur’an, sampai pada pengetahuan yang lebih
mendalam, seperti bagaimana memahami al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh, tasawuf,
dan pengetahuan lain sejenisnya.
Mula-mula perkembangan
pesantren adalah sederhana. Tetapi karena semangat dan sistem pembelajaran yang
dikembangkan berorientasi kepada basis masyarakat (community based education)
maka lama-kelamaan beberapa di antaranya menjadi besar. Jumlah santri yang
belajar menjadi bertambah banyak, lembaga pendidikan yang dikelola disebut
pondok pesantren, dan pemegang kepemimpinan lembaga itu disebut kyai. Lembaga
pendidikan pondok pesantren selalu dilengkapi dengan masjid (mushalla) dan
rumah kyai. Para santri belajar agama dengan hidup dan bergaul bersama kyai.
Oleh karena itu para pemerhati pondok pesantren mengidentifikasi pesantren
dengan beberapa karakteristik bahwa di dalam pesantren terdapat rumah kyai,
masjid, dan pemondokan santri. Para santri belajar mengaji dan mengamalkan apa
saja yang dilakukan kyai. Hubungan santri dan kyai menyerupai hubungan bapak
dan anak. Kyai tidak saja mengajarkan ilmu pengetahuan agama, tetapi juga
membimbing, memberi contoh atau memberikan teladan, dan “mendoakan” para
santrinya. Hubungan mereka menyeruak ke berbagai aspek kehidupan, baik aspek
rasional, emosional, maupun spiritual secara mendalam. Kyai memberlakukan para
santrinya seperti anak-anak mereka sendiri dengan membagi rasa kasih sayang dan
menjadikan dirinya sebagai panutan ideal santri.
Ilustrasi ini sengaja
saya kemukakan untuk membandingkan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan
modern pada umumnya, berupa sekolah atau universitas. Di sekolah dan
universitas, pribadi guru dan dosen harus melebur menjadi kekuatan institusi.
Melalui kerangka konseptual demikian, para murid dan mahasiswa belajar ke
lembaga atau institusi, dan bukan kepada pribadi-pribadi. Oleh karena itu, bila
di pesantren kyai adalah sentral dan simbol kekuatan yang kokoh, maka di
lembaga pendidikan modern (sekolah dan universitas) kekuatan utamanya adalah
pada insitusinya.
Mengikuti perkembangan
zaman akhir-akhir ini pesantren telah membuka diri. Jika dahulu pesantren hanya
sebagai tempat mengaji ilmu agama melalui sistem sorogan, wetonan, dan
bandongan, maka saat ini telah membuka pendikan sistem klasikal dan bahkan
program baru yang berwajah modern dan formal seperti madrasah, sekolah, dan
bahkan universitas. Sekalipun pendidikan modern telah masuk ke pesantren, akan
tetapi tidak boleh menggeser tradisinya, yakni gaya kepesantrenan. Sebaliknya,
kehadiran lembaga pendidikan formal ke dalam pesantren dimaksudkan untuk
memperkokoh tradisi yang sudah ada, yaitu pendidikan model pesantren. Adaptasi
adalah sebentuk keniscayaan tanpa menghilangkan ciri khas yang dimiliki pesantren
(al-muhâfazhah `ala al-qadîm as-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah).
Tradisi yang dimaksud
untuk selalu dipertahankan oleh pesantren adalah pengajaran agama secara utuh.
Pendidikan pesantren sejak awal memang bukan dimaksudkan untuk menyiapkan
tenaga kerja terampil pada sektor-sektor modern sebagaimana diangankan sekolah
dan universitas pada umumnya. Melainkan diorientasikan kepada bagaimana para
santri dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam secara baik.
Pendidikan pesantren adalah pendidikan Islam yang berusaha mengantarkan para
santri menjadi alim dan shalih, bukan menjadi pegawai atau pejabat. Oleh karena
itu, beberapa pesantren yang masih “murni” tidak mengutamakan ijazah atau
sertifikat, melainkan pada penguasaan ilmu sebagai bekal tuntunan hidup.
Orientasi pendidikan pesantren yang demikian itu mengimplikasikan para santri
boleh/dibolehkan keluar dari pesantren sekiranya mereka sudah merasa cukup.
Sebaliknya, belasan dan puluhan tahun seorang santri “diperkenankan” menimba
ilmu di pesantren dan bahkan dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk
menambah pengetahuan agamanya selagi merasa belum cukup.
Orientasi pendidikan
seperti itu menjadikan di pesantren tidak mengenal atau dikenal seorang santri
menyontek, apalagi memalsu daftar nilai, ijazah, dan membuat program-program
yang berorientasi pada aspek formal dengan meninggalkan aspek substansialnya.
Cukup rasional bila pesantren tidak mengenal program kelas jauh dan kelas
eksekutif (Sabtu-Minggu) yang dikhawatirkan dapat memerosotkan kualitas
pendidikannya. Selain itu, pesantren kaya akan sistem pendidikan yang dihiasi
oleh nilai-niai keikhlasan, ridha, tawadhu’, karamah, barakah, dan semacamnya.
Di sini letak perbedaan pendidikan pesantren dengan pendidikan modern (sekolah
dan universitas). Diakui atau tidak, tidak sedikit para tokoh, baik tingkat
lokal maupun nasional, lahir dari lembaga pesantren. Prof. H.A. Mukti Ali,
mantan Menteri Agama, pernah menyatakan bahwa “pesantren ya pesantren dan tidak
pernah ada ulama yang lahir dari lembaga selain pesantren.” Apa yang dikatakan
oleh Prof. H.A. Mukti Ali adalah kenyataan bahwa ulama Indonesia sebagian besar
atau bahkan seluruhnya lahir dari pondok pesantren.
Dewasa ini muncul usaha
pembaruan sistem pendidikan pesantren dengan membuka lembaga-lembaga pendidikan
formal, mulai dari tingkat dasar (MI/SD Islam), tingkat menengah (MTs./SMP
Islam dan MA/SMA Islam), sampai ke PTAI dan universitas Islam. Ciri khas
pesantren yang mandiri dan otonom dengan kyai sebagai pusat orientasi,
menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan dilirik sebagai sistem pendidikan
alternatif. Kunci kemandirian dan kekokohan pesantren ada pada kyai. Jika kyai
pesantren cukup “kuat,” maka pesantren itu akan maju. Di Jawa Timur, misalnya,
Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo; Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan,
Sumenep; Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah Asem Bagus, Situbondo; Pondok
Pesantren Sidogiri, Pasuruan; Pondok Pesantren Karang Asem Paciran, Lamongan
(disebut-sebut sebagai pondok pesantren yang berafiliasi ke Muhammadiyah); dan
masih banyak lagi yang tengah mengalami kemajuan dan kemasyhuran.
Sampai di sini, saya
kira amatlah naif bila ada seorang atau sekelompok orang yang mengecilkan arti
pesantren. Bisa dibayangkan bahwa pesantren yang dikonotasikan sebagai
pendidikan tradisional tetap kokoh di tengah pergulatan sistem dan model
pendidikan yang kian menaik. Tidak saja itu, pesantren adalah satu-satunya
institusi yang berhasil melakukan transmisi Islam dan bahkan bagi kemajuan
bangsa Indonesia ini. Sebab kemuliaan pesantren terletak pada bukan semata
orientasi materi tetapi keberadaannya lebih diorientasikan kepada pengkayaan
ilmu dan keluhuran budi. Tidak salah bila pesantren dikatakan sebagai pengawal
diberlakukannya “manajemen berbasis perjuangan” (jihad based management),
sebagaimana dewasa ini tengah mengelegak.
Usaha-usaha ke arah
memajukan pesantren kini terus diusahakan. Seperti penyetaraan sistem
pendidikan yang dikelola, pengakuan ijazah yang dikeluarkan, dan bahkan
diakuinya para lulusan pesantren setara dengan pendidikan modern (sekolah dan
universitas). UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah
bukti bagi secercah perjuangan pesantren untuk berdiri sejajar dengan sistem
pendidikan modern. Meskipun di beberapa kawasan ditemui pesantren untuk
mempertahankan tradisi dan jati dirinya tanpa mengikuti ketentuan-ketentuan
formal pemerintah.
Tantangan dan Tuntutan Pengembangan SDM
Menghadapi dunia global
seperti sekarang ini, di mana lapangan kerja membutuhkan kemampuan teknologi
dan profesionalitas adalah wajar bila perhatian para pakar dan pemerhati
diarahkan pada dunia pondok pesantren. Hal mendasar yang perlu diajukan dalam
konteks ini adalah bagaimana pesantren mengadaptasi dengan tuntutan zaman
seperti itu? Jika yang dibutuhkan adalah kekuatan pengetahuan agama yang
melahirkan akhlak dan ketaqwaan, maka jelas alumni pesantren memiliki
keunggulan. Akan tetapi, jika yang dibutuhkan adalah pekerja profesional dengan
kemampuan ilmu dan teknologi maka pertanyaan mendasar tersebut layak diajukan
pada dunia pesantren.
Tanpa bermaksud apologi
apalagi membela pesantren, suasana “gelagapan” menghadapi tuntutan zaman
sekarang ini bukan saja dialami oleh pesantren, tetapi juga oleh sekolah umum
dan universitas. Jika para penganggur di negeri ini semakin membengkak, kiranya
bukan (saja) berasal dari pesantren melainkan banyak berasal dari lembaga
pendidikan modern. “Anehnya lagi,” justru cukup banyak penganggur yang berasal
dari kalangan sarjana. Ini adalah kenyataan. Sekalipun ini bersifat kasuistik,
tetapi ini perlu perhatian khusus dan usaha serius ke arah perbaikan yang lebih
berarti. Saya cukup “prihatin” sekaligus “bangga” pernah bertemu seorang
pengusaha pertanian lulusan pesantren salaf yang tidak memiliki ijazah,
ternyata para pegawainya sebagian adalah lulusan Fakultas Pertanian. Bukan
sebaliknya, lulusan pertanian memperkerjakan alumni pondok pesantren. Melihat
fenomena seperti ini saya menjadi bangga, ternyata lulusan pesantren mampu
memimpin berbagai usaha ekonomi. Contoh lain, dalam lingkup yang lebih luas,
tidak sedikit alumni pondok pesantren menjadi politikus, pengusaha sukses, dan
berhasil meraih posisi strategis di kalangan publik. Dr. H. Hidayat Nur Wahid,
MA., ketua MPR RI, adalah alumni Pesantren Modern Gontor. Kemenangan partai
politik PKB, PAN, PKB, dan PPP adalah representasi kemenangan politik kaum
santri. Tidak sedikit para kyai dan santri alumni pesantren menempati posisi
strategis di republik ini, seperti bupati/walikota dan ketua DPRD. Tokoh-tokoh
nasional seperti Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof.
Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Qodri Azizy, (alm), Prof.Dr.Tholkhah Hasan,
Dr Tholkhah Mansyur (alm), dan masih banyak lagi lainnya adalah pernah
mengenyam pendidikan pesantren.
Selain itu, pendidikan
harus dibedakan dari sekadar lembaga kursus. Lembaga pendidikan, apalagi
perguruan tinggi, harus mampu mengantarkan peserta didik menjadi cerdas, dan
bukan sekadar terampil. Lembaga pendidikan jangan sampai direduksi menjadi lembaga
yang berorientasi semata kepada pembangunan manusia terampil secara teknis,
tetapi kering dan lembek dari kecerdasan. Pendidikan pesantren, salah satu
titik lebihnya, adalah mampu memerankan diri menjadi lembaga pendidikan yang
mencerdaskan itu. Untuk itu, ke depan semestinya bukan saja pesantren melainkan
juga lembaga pendidikan modern perlu dikembalikan pada posisi strategisnya,
yakni mengantarkan peserta didik menjadi cerdas sekaligus berakhlak luhur,
selain juga terampil.
Mengadaptasi pesantren
dengan perkembangan global yang penuh dengan muatan ilmu dan teknologi bukanlah
terlalu sulit. Sebab pesantren memiliki kekuatan adaptif yang cukup tinggi.
Pengembangan pesanren dengan membuka program pendidikan umum, seperti kemudian
adanya sekolah umum di pesantren, perguruan tinggi masuk pesantren, ketrampilan
masuk pesantren, kursus-kursus dan seterusnya merupakan cara pesantren dalam
beradaptasi dengan tantangan dan tuntutan dunia luar. Hasilnya cukup menarik.
Di beberapa tempat, pesantren juga menyelenggarakan sekolah unggulan dan
profesi tertentu yang dibutuhkan masyarakat. Persoalan yang dihadapi pesantren
terkait dengan sifat kemandiriannya itu. Tidak pernah ada pesantren yang para
guru, pendanaan dan daya dukung lalinnya menunggu dibantu oleh pemerintah. Dan
tidak ada pesantren yang memperoleh DIPA sebagaimana lembaga pendidikan
pemerintah pada umumnya. Dan tanpa itu pun ternyata sebagian pesantren dapat
survive. Oleh karena itu, jika pesantren diharap dapat maju bersama, maka perlu
diberlakukan sama, setidak-tidaknya dibantu dalam memenuhi kebutuhannya.
Pesantren yang
sekalipun belum mengembangkan program-program baru, –sekolah umum, tidak
sedikit yang berhasil mengantarkan para santrinya memasuki peran-peran penting
di masyarakat. Yang diperlukan pesantren saat ini adalah pengakuan oleh lembaga
pendidikan formal, termasuk oleh pemerintah. Hambatan yang seringkali dihadapi
oleh mereka, karena tidak memegang ijazah, pengetahuan yang didapat dari
pesantren tidak diakui. Problem alumni pesantren adalah formalisasi. Akan
tetapi, bagi kebanyakan pesantren hal itu sebenarnya tidak dianggap masalah,
sebab sebagaimana dikemukakan di muka, pesantren bukan berorientasi untuk
meraih sesuatu sekadar yang bersifat formal itu. Memang, dengan mengabaikan hal
yang bersifat formal itu, persoalan yang dihadapi adalah tatkala para alumni
memasuki sektor-sektor formal, seperti tatkala mereka mencalonkan diri menjadi
anggota legislatif atau eksekutif, perusahaan yang merekrut tenaga kerja dengan
mempersyaratkan ijazah dan lain-lain. Alumni pondok pesantren yang berhasil
memasuki sektor-sektor formal, adalah mereka yang mendapatkan ijazah melalui
persamaan atau berpendidikan ganda, sekolah sekaligus mengaji di pesantren.
Hanya saja, tidak semua santri pesantren menempuh pendidikan ganda seperti ini.
Pesantren sebagai Komplemen Pendidikan Formal
Perlu diakui bahwa
tidak semua pondok pesantren telah terselenggara dengan baik, sebagaimana hal
itu juga terjadi bahwa belum semua lembaga pendidikan formal berjalan
sebagaimana mestinya. Akan tetapi, akhir-akhir ini semakin diakui bahwa
ternyata pesantren menyimpan kekuatan yang justru tidak dimiliki oleh lembaga
pendidikan formal. Hubungan kyai dan santri yang terbangun secara kokoh,
sehingga peran kyai tidak sebatas sebagai pengajar, melainkan juga sebagai
pamong, pembimbing, pengasuh, pendidik dan bahkan menjadikan santri sebagaimana
layaknya anak mereka sendiri, adalah suasana yang patut dikembangkan dalam
proses pendidikan di mana saja termasuk di lembaga pendidikan formal. Hubungan-hubungan
formal dan bahkan transaksional tidak terjadi di pondok pesantren. Kyai dan
santri dengan berada di satu tempat dilengkapi dengan masjid, perpustakaan
serta sarana lainnya, maka nilai-nilai pendidikan yang sesungguhnya lebih
memungkinkan diimplementasikan.
Lebih dari itu, banyak
aspek keberhasilan pendidikan justru diraih oleh pesantren dan tidak demikian
oleh sekolah umum. Sekadar sebagai contoh, tidak sedikit perguruan tinggi yang
masih gagal mengembangkan kemampuan berbahasa asing, –Arab dan Inggris, tetapi
ternyata pesantren Gontor Ponorogo, Al-Amien Perinduan Sumenep Madura, yang
berada di pedesaan, ternyata berhasil. Terasa ironis justru pendidikan umum dan
bahkan termasuk banyak perguruan tinggi di kota besar masih belum berhasil
mengejar kemajuan beberapa pondok pesantren tersebut. Selain itu alumni pondok
pesantren tidak sedikit yang mampu melakukan kepemimpinan, apalagi dalam
kehidupan agama di masyarakat, sekalipun mereka tanpa gelar sarjana. Sementara,
alumni perguruan tinggi yang telah terlanjur dibekali gelar berpanjang-panjang,
ternyata jangankan mencarikan pekerjaan untuk orang lain, sementara untuk
memenuhi kebutuhan dirinya sendiri saja masih banyak yang kebingungan.
Melihat kelebihan
tradisi pesantren tersebut, tidak sedikit sekarang ini lembaga pendidikan
formal diformat menjadi sebuah sintesa antara pendidikan umum dan pesantren dan
bahkan Prof. A.Malik Fadjar, M.Sc mantan Menteri Agama dan Mendiknas pernah
menulis buku tentang Sintesa Perguruan Tinggi dan Pesantren sebagai Upaya
Menghadirkan Lembaga Pendidikan Alternatif. Tidak kurang dari itu, ide tersebut
telah diimplementasikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Sejak sepuluh
tahun yang lalu, UIN Malang memformat lembaga pendidikan Islam dengan bentuk
sintesa antara pesantren dan universitas. Pada tahun pertama dan kedua —-untuk
sementara, menyesuaikan fasilitas yang tersedia, Universitas ini mewajibkan
seluruh mahasiswa baru bertempat tinggal di Ma’had Al Aly Sunan Ampel. Setelah
program ini bejalan kurang lebih sepuluh tahun, ternyata membawa hasil. Jika
sebelumnya banyak dikeluhkan tentang lemahnya mahasiswa dalam berbahasa Arab
dan Inggris, ternyata dengan menghadirkan tradisi pesantren di kampus, kelemahan
itu sudah sedikit banyak dapat diatasi. Demikian juga dengan mereka bertempat
tinggal di Ma’had, tradisi keagamaan dapat dibina lebih intensif, misalnya
membiasakan mahasiswa sholat berjama’ah pada setiap sholat lima waktu, membaca
al-Qur’an dan lain-lain. Selain itu, hubungan dosen dan mahasiswa, sekalipun
tidak persis, sudah terhindar dari nuansa transaksional dan formal. Akhir-akhir
ini dengan adanya pesantren kampus itu muncul gejala, mulai muncul fenomena
baru yaitu misalnya kegiatan menghafal al-Qur’an. Tidak sedikit mahasiswa dari
jurusan umum —fisika, kimia, biologi, matematika, teknik, ekonomi yang
mengikuti kegiatan ini. Rupanya format pendidikan seperti ini menjadi daya
tarik tersendiri bagi masyarakat dan karena itulah akhir-akhir ini, menurut
beberapa informasi, akan dikembangkan oleh beberapa perguruan tinggi Islam
lainnya.
Melihat
kenyataan-kenyataan seperti itu, maka dalam pengembangan pendidikan di
Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk, dan berada di tengah-tengah
perubahan yang sedemikian cepat, perlu dicarikan alternatif-alternatif sebagai
upaya peningkatan kualitas pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman. Saya
melihat persoalan serius penyelenggaraan pendidikan ini bukan terletak pada
siapa penyelenggara dan apa bentuknya, akan tetapi pada komitmennya terhadap
upaya-upaya peningkatan kualitas hasilnya. Akhir-akhir ini telah terdapat
pondok pesantren, yang disebut tradisional itu ternyata telah masuk kategori
modern dan sebaliknya muncul lembaga pendidikan yang disebut modern padahal
sejatinya sangat terbelakang, dalam pengertian tidak menyesuaikan dengan
zamannya. Lembaga yang disebutkan terakhir mengabaikan kualitas dan bahkan
menyelenggarakan program yang amat jauh dari tuntutan persyaratan minimal,
penyelenggaraannya sekadar bersifat formalitas yang kegiatannya tidak lebih
membagi-bagi ijazah secara mudah, tanpa melawati proses yang sewajarnya. Karena
itu, kata kunci dalam memperbaiki pendidikan adalah bagaimana kita bangun
komitmen bersama menjadikan lembaga pendidikan semakin berkualitas secara
menyeluruh, baik di lingkungan pendidikan umum maupun juga di pesantren.
Rupanya sintesa antara pendidikan umum dan pesantren merupakan satu alternatif
untuk mengurangi kelemahan masing-masing, terutama dalam menghadapi tantangan dan
penyiapan SDM mendatang. Allahu a’lam.
Dikutip dari :